Senin, 15 September 2008

10 Rahasia Pasangan Bahagia

10 Rahasia Pasangan Bahagia

Apakah Anda masih suka berangkat tidur bersama dan selalu bergandengan tangan jika jalan berdua dengan pasangan? Jika tidak lagi, mungkin Anda perlu mengusahakannya kembali agar kebahagiaan lebih besar lagi yang Anda rasakan.

Pak Petrus dan Bu Magdalena sudah 44 tahun menikah. Dari mereka lahir tiga anak dan tujuh cucu. Perjalanan perkawinan yang panjang itu tampaknya tidak menyurutkan kemesraan mereka berdua. "Ya mau apa lagi, kami sekarang 'kan tinggal menikmati hidup," ujar Pak Petrus yang dalam usia 72 tahun ini masih aktif bekerja di perusahaan swasta dengan status pensiunan yang dikaryakan.

Namun mantan guru ini mengakui bahwa kemesraan yang sampai sekarang masih mereka miliki itu tidak datang tiba-tiba. "Itu semua harus diusahakan, dan dari pengalaman saya ternyata tidak mudah," katanya.
Pak Petrus memberi gambaran, ia suka berkebun dan membaca sedangkan Bu Magdalena lebih suka menyanyi dan merapikan rumah. Perbedaan minat itu pada awal perkawinan membuat mereka kurang intensif berkomunikasi. Menyadari hal itu, mereka lantas mencari cara agar bisa menikmati waktu bersama-sama.

"Pada waktu membaca, biasanya Ibu duduk di samping saya sambil membawakan minuman serta camilan. Maka saya membaca keras-keras agar Ibu bisa mengetahui apa yang saya baca, dan seringkali kami lantas sama-sama mengomentari topik yang tadi dibaca," jelas Pak Petrus.
Begitu pun sebaliknya, ketika Bu Magdalena berlatih menyanyi Pak Petrus ikut memegang teks lagu atau sekadar berdendang mengikutinya. "Dengan begitu kami bisa menikmati hobi masing-masing tapi tidak kehilangan waktu bersama-sama. Kalau saya berkebun, Ibu menunggui sambil omong-omong. Kalau Ibu merapikan rumah, saya menunggui sambil komentar he-he…," ungkap Pak Petrus.

Hindari Pungung-Punggungan
Apa yang mereka usahakan tampaknya sesuai dengan saran yang diberikan oleh Dr. Mark Goulston, penulis buku The 6 Secrets of a Lasting Relationship. Menurut Goulston pasangan yang bahagia tahu hubungan nyata dimulai saat masa bulan madu usai. Kecuali Anda tetap memelihara taman cinta itu, keindahannya akan sirna dan mati. Untuk memeliharanya ada 10 rahasia yang disarankannya.

  1. Berangkat tidur bersama-sama. Ingatkah ketika baru menikah, betapa Anda tidak sabar menunggu untuk berduaan di tempat tidur? Pasangan yang bahagia menolak berangkat tidur sendiri. Kalau pun nanti bangunnya tidak bersama-sama, tidak masalah. Begitu pun saat bertengkar. "Biasanya kami tetap berangkat tidur bersama-sama walau tidak bicara, dan kami berusaha untuk tetap bersenggolan tangan atau kaki. Rasanya nggak tenang kalau berdekatan tapi tidak bersentuhan. Maka kami menghindari punggung-punggungan, karena rasanya akan menjauhkan satu sama lain," ungkap Bu Magdalena.
  2. Usahakan memiliki minat bersama. Jangan mengecilkan arti aktivitas yang dapat Anda kerjakan bersama pasangan. Jika belum punya, menurut Goulston, pasangan yang bahagia biasanya mengusahakannya. Namun pada saat yang sama, tetaplah memelihara minat pribadi Anda. Dengan begitu Anda akan semakin menyukai pasangan Anda tanpa menjadi tergantung.
  3. Jalan bergandengan tangan atau bersebelahan. Pasangan bahagia akan merasa nyaman jika jalan sambil bergandengan tangan atau bersebelahan, ketimbang satu di depan satu di belakang memandangi punggung.
  4. Pusatkan perhatian pada apa yang dilakukannya secara benar, bukan pada yang salah. Anda selalu bisa menemukan hal keliru yang dilakukannya, sama juga selalu bisa menemukan hal benar yang dia kerjakan. Tergantung apa yang Anda cari. Pasangan bahagia lebih memilih sisi positif.
  5. Buatlah kepercayaan dan memaafkan sebagai pegangan baku. Jika pasangan bahagia bertengkar atau berbeda pendapat dan tidak bisa diselesaikan, mereka akan mengutamakan rasa percaya dan memaafkan satu sama lain, bukan rasa tidak percaya dan tanpa ampun.
  6. Saling berpelukan segera setelah bertemu sepulang kerja. Kulit kita, kata Dr. Goulston, memiliki memori tentang 'sentuhan baik' (cinta), 'sentuhan buruk' (pelecehan) dan 'tanpa sentuhan' (penolakan). Pasangan yang saat bertemu langsung berpelukan berarti memelihara ingatan kulitnya dengan 'sentuhan baik' dan memberi kehangatan.
  7. Ungkapkan "Aku cinta padamu" dan "Baik-baik ya" pada pagi hari, karena hal itu merupakan cara hebat untuk mendapatkan kesabaran dan toleransi menghadapi dunia luar yang tidak teratur dan semrawut.
  8. Ucapkan "Selamat malam" setiap malam, tak peduli bagaimana perasaan Anda. Hal itu akan mengingatkan pasangan Anda bahwa betapa pun Anda sedang marah tetap ingin bersamanya. Artinya, apa yang Anda berdua miliki lebih penting ketimbang kemarahan satu hari itu.
  9. Periksa 'cuaca' hatinya hari itu. Usahakan untuk berbicara dengannya di sela-sela kesibukan kerjanya, dengan demikian Anda bisa menyesuaikan diri dengan suasana hatinya setelah bertemu.
  10. Merasa bangga terlihat bersamanya. Pasangan yang bahagia senang bisa bersama-sama, dan biasanya menunjukkan sentuhan tanda sayang di antara mereka. Misalnya gandengan tangan, rangkulan, pelukan, elusan. Bukan mau pamer, tapi hanya ingin mengatakan bahwa mereka saling memiliki.

Tentu, itu semua adalah saran, untuk selanjutnya terserah Anda. @ Widya Saraswati

Waspadai Darah Kental pada Usia Muda

Waspadai Darah Kental pada Usia Muda
Minggu, 14 September 2008

Oleh : Lusiana Indriasari

Bagi Anda yang sering mengalami migrain, jangan pernah menganggap sepele keluhan tersebut. Bisa jadi sakit kepala sebelah yang Anda rasakan itu merupakan gejala awal dari sindrom darah kental.

Sindrom darah kental adalah serangkaian gejala yang muncul akibat kekentalan darah berlebihan. Akibat darah terlalu kental, aliran darah ke seluruh tubuh menjadi tidak lancar. Pasokan oksigen ke sel-sel tubuh pun terhambat. Migrain adalah salah satu gejala karena pasokan oksigen ke otak tersendat.

"Di dunia kedokteran, darah kental sebenarnya bukan hal baru, tetapi tidak banyak orang tahu atau waspada dengan darah kental. Padahal, sudah banyak korban stroke atau serangan jantung akibat darah kental," kata dr Aru W Sudoyo, spesialis hematologi-onkologi (konsultan) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Darah menjadi kental karena kekurangan cairan darah atau trombosit (zat yang berperan dalam pembekuan darah) sehingga mudah lekat satu sama lain. Bila seseorang memiliki kolesterol tinggi atau punya kebiasaan merokok, darah yang sudah kental semakin susah mengalir.

Kolesterol yang menempel di dinding pembuluh darah membuat penampang pembuluh darah menyempit. Adapun asap rokok akan merusak lapisan dinding pembuluh darah bagian dalam (endotel).

Endotel ini turut mengaktifkan sistem pembekuan darah. Apabila endotel rusak, trombosit akan mudah melekat satu sama lain. Hambatan-hambatan dalam pembuluh darah ini dikenal sebagai trombosis.

Trombosis bisa terjadi di seluruh pembuluh darah. Karena itu, dampaknya tergantung dari bagian pembuluh darah yang terhambat. Jika trombosis terjadi di pembuluh otak, akan terjadi stroke. Sementara itu, pada pembuluh jantung akan menyebabkan serangan jantung.

Perempuan muda

Sekarang semakin banyak orang muda, yakni mereka yang berusia 18-45 tahun, menderita kekentalan darah. Hal itu diketahui setelah pasien melakukan serangkaian pemeriksaan darah. "Gaya hidup tidak sehat dan stres tinggi memicu pengentalan darah," kata dr Aru.

Sheryl (35) adalah salah satu orang yang mengalami darah kental. Sebelum terkena stroke ringan satu tahun lalu, Sheryl mengaku sering mengalami migrain. Bila migrainnya kumat, terkadang ia merasa pandangannya berputar sehingga mual. "Untuk menghilangkan migrain, saya sering sekali minum obat sakit kepala," katanya.

Ketika bangun tidur, Sheryl merasakan sekujur badannya pegal-pegal. Belakangan telinganya juga mulai sering berdenging. "Saya termasuk terlambat karena baru periksa ke dokter setelah terkena stroke," ujar Sheryl yang sejak satu tahun lalu rajin minum obat pengencer darah.

Pada sejumlah kecil penderita darah kental, penyebabnya adalah genetis (diturunkan). Karena itu, mereka ini berisiko mengalami trombosis pada usia muda. Mereka yang memiliki darah kental secara genetik harus minum obat antikoagulan (antipenggumpalan) seumur hidup. "Syukurlah kelainan ini hanya ditemukan pada sebagian kecil populasi manusia," tutur dr Aru.

Sayangnya, di Indonesia belum ada data jumlah pasien usia muda yang mengalami darah kental. Aru mengatakan, hampir setiap hari selalu ada pasien baru yang didiagnosis darah kental di klinik hematologi RSCM dan Medistra, tempat ia berpraktik.

Pasien biasanya datang dengan keluhan pusing, migrain, pandangan berputar (vertigo), telinga berdenging (terkadang tuli mendadak), serta penglihatan terganggu. Menurut Aru, itu semua merupakan gejala gangguan pembuluh darah yang salah satu penyebabnya adalah darah kental.

Kasus darah kental ini tidak hanya terjadi pada laki-laki, tetapi juga perempuan. Masuknya perempuan ke dunia kerja diduga berhubungan dengan semakin banyak perempuan yang terkena sindrom darah kental.

"Perempuan bekerja bebannya semakin banyak sehingga mereka rentan stres," kata Aru. Di Indonesia diperkirakan jumlah penduduk usia produktif antara 18 dan 45 sebanyak 97,60 juta orang. Dari jumlah itu sebanyak 50,54 persennya adalah perempuan.


IND
Sumber : Kompas Cetak

Minggu, 14 September 2008

Berbahagia Secara Murah Meriah

Para Alumni Pika yang berbahagia,
Sebagian orang mengatakah, mencari kebahagiaan itu mahal ongkosnya. Tapi dalam artikel Gede Prama di bawah ini, kebahagiaan itu murah-meriah. Dia menulis : "Bila ingin berbahagia, berbahagialah. Tidak diperlukan uang yang amat banyak, mobil yang terlalu mewah, rumah yang bergengsi, jabatan yang mengundang decak kagum".  Benarkah demikian, mari kita simak tulisannya. (PDS)


Berbahagia Secara Murah Meriah
Oleh: Gede Prama

Ketika tulisan ini dibuat, tidak ada satupun media - dari cetak sampai dengan elektronik - yang absen dari pemberitaan penyerangan Amerika ke Afganistan. Tidak hanya di Indonesia, di muka bumi ini manusia hampir semuanya terbelah dua dalam bersikap : pro atau anti Amerika. Ketika gedung WTC New York runtuh ditabrak pesawat yang dikendalikan teroris 11 September 2001 lalu, sebagian besar manusia tersentuh empatinya terhadap duka cita yang sedang melanda Amerika. Namun, ketika Amerika memborbardir Afganistan dengan senjatanya, empati sebagian orang malah berubah.

Ini semua seperti sedang bertutur ke kita, penyerangan dan penghancuran melalui teknologi dan senjata lengkap dengan seluruh kekuatannya, mudah sekali merubah posisi empati menjadi antipati. Lebih dari sekadar mengundang antipati, layak diragukan kalau setiap kekuatan yang dipamerkan melalui jalan-jalan menghancurkan dan menghanguskan akan membuat penyerang dan penghancurnya akan tambah kuat dan tambah dihormati dalam jangka panjang. Dalam gunungan kebencian dan dendam, bisa jadi malah sebaliknya. Penyerangan dan penghancuran hanya akan membuat penyerangnya menjadi semakin tidak berdaya pada akhirnya.

Kalau menoleh pada sejarah sebagai saksi, mungkin deretan peristiwa seperti ditarik mundurnya pasukan Amerika dari Vietnam, Irak yang harus mundur dari Kuwait beberapa tahun lalu, atau mundur perlahannya Soviet setelah menyerang Afganistan bisa digunakan sebagai bahan renungan. Belum lagi jika ditambah oleh banyak rezim penguasa represif yang jatuh tidak oleh kekuatan lawan, melainkan jatuh oleh kekuatan dan sikap represifnya sendiri.

Dalam tataran renungan di mana penyerangan, kebencian, dendam hanya bisa membuat manusia berputar-putar dalam satu lingkaran kebencian ke lingkaran kebencian yang lain, mungkin layak untuk direnungkan keluar dari lingkaran terakhir. Sebab, memperhatikan dan memuaskan dendam dan kebencian, tidak membuat keduanya jadi hilang. Sebaliknya, malah semakin berkobar dari hari ke hari.

Asal muasal dari dendam dan kebencian - kalau boleh jujur - mirip dengan sebuah cerita Zen. Pada suatu hari, ada dua orang rahib yang berjalan di tengah hutan. Ketika siap menyeberangi sungai, ada seorang wanita cantik yang berteriak dari belakang minta diseberangkan dengan cara digendong. Rahib yang lebih muda heran, sedangkan yang lebih tua menyanggupi permintaan terakhir. Dan singkat cerita selamatlah wanita tadi sampai di seberang sungai karena digendong rahib yang lebih tua. Dua jam setelah kejadian ini berlalu, rahib yang muda bertanya keheranan, kenapa rahib tua mau menggendong wanita cantik. Dengan sedikit jengkel rahib tua menjawab : 'Saya sudah menurunkan wanita cantik tadi dua jam yang lalu, sedangkan kamu masih menggendongnya dalam pikiranmu sampai dengan sekarang'.

Demikianlah kebencian dan kemarahan terjadi. Satu atau sejumlah kejadian di masa lalu yang tidak terlalu mengenakkan, tetap kita ingat dan kita bawa ke mana-mana. Kendatipun kehidupan bergerak terus ke depan, tetap saja muatan-muatan kebencian kita bawa kemanapun kita pergi. Ibarat menggendong monyet, ini memang kegiatan berat yang tidak enak. Tetapi tetap saja orang rela menggendongnya ke mana-mana. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena diikat kuat oleh tali dendam dan kebencian.

Oleh karena alasan inilah, J. Krishmanurti dalam banyak kesempatan mengajak banyak orang untuk hidup keluar dari apa-apa yang kita ketahui. Salah satu buku pemikir cerdas ini berjudul Freedom From The Known. Tidak untuk dilupakan semuanya, melainkan menghindarkan diri agar tidak berputar dari satu keterkondisian ke terkondisian yang lain. Keterkondisian dari masa lalu ini, tidak saja membuat orang tidak segar dalam melihat hari ini, tetapi juga membuat manusia hidup dalam tataran yang semakin rendah dari hari ke hari. Bagaimana tidak semakin rendah, kalau hari-hari kehidupan diisi dengan kebencian, dendam dan peperangan.

Sebagai manusia biasa, kadang sayapun dikunjungi oleh kebencian dan kemarahan. Dan sadar akan bahayanya keterkondisian, pelan namun meyakinkan saya usir tamu-tamu terakhir dengan berbagai cara. Nyanyian, pujian kepada Tuhan, membaca hal-hal yang menyenangkan, tertawa bersama teman dan keluarga, atau melihat musuh sebagai guru kebijakan dan kesabaran yang sengaja dikirim Tuhan, adalah sebagian cara yang bisa digunakan untuk mengusir kebencian dan kemarahan. Dalam skala yang lebih dalam, meditasi bisa dipertimbangkan dalam hal ini. Di mana, semua hal yang berbau
penilaian, penghakiman dan pengkotakan dibuang jauh-jauh.

Sulit diceritakan melalui kata-kata, bagaimana indahnya dunia yang diselami melalui meditasi. Sebab, meditasi adalah kegiatan mengalami sendiri di dalam hati. Yang jelas, penghakiman, penilaian dan pengkotakan layak untuk dibuang jauh-jauh. Mengalir dan mengalir, demikianlah seorang sahabat memberikan saran. Di tingkatan meditasi yang sudah bebas dari penghakiman dan penilaian ini, berlaku ungkapan sederhana sebagaimana pernah dikutip penulis buku Zen Paths To Harmony : "If you want to be happy, just be". Bila ingin berbahagia, berbahagialah. Tidak diperlukan uang yang amat banyak, mobil yang terlalu mewah, rumah yang bergengsi, jabatan yang mengundang decak kagum. Dengan sedikit niat, kebahagiaan di tingkatan ini menjadi sesuatu yang murah meriah.

Namun sekali lagi, ini lebih mudah dilakukan oleh sahabat yang tidak menggendong dendam dan kebencian ke mana-mana.

Tuhan tersenyum

TUHAN TERSENYUM
 
Don't take your organs to heaven Heaven knows we need them here.
 
Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam Al-Quran tak saya  temukan  dua  hal  itu.  Begitu juga dalam hadis nabi. Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian  saya masih  randah,  kata  orang  Minang. Tapi kalau soalnya cuma "adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data. Di  tahun  1978,  seorang  khatib  melucu di masjid UI Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep jadi  melek  penuh.  Mereka  menyimak  pesan  Jumat,  sambil senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.
 
"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja melucu dalam khotbah dilarang ..."
 
Vonis jatuh.  Marah  khatib  kita  ini.  Dan  saya  mencatat "tambahan"  larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib".  Senat  dan  Dewan dibekukan.  Milik mahasiswa yang tinggal satu itu, "melucu buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.
 
Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran.  Maka, saya  khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa tahu, di rumah Allah hal itu tak  sopan.  Buat  jemaah  yang suka  menguap  macam  saya,  karena jarang setuju dengan isi khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.
 
Saya dengar Komar  dikritik  banyak  pihak.  Soalnya, dalam ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih. Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di kampungnya, banyak anak muda tak tertarik pada ceramah agama.
 
"Mengapa ?" tanya Pak Haji Komar, "Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."
 
Wah  ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.

Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan bukannya  marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu, tidak bisa. Dzubi jadi  dubi,  tidak  boleh.  Khotbah  lucu, jangan.  Lho?  Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa  cantelan  dan aman,  apa  bukan  "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor dalam agama?
 
Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang  Bung Karno.  Dalam  humor,  saya  cukup  di  belakang Bung Komar. Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak haram jadah.
 
Di Universitas Monash saya temukan striker: "Jangan bawa organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih memerlukannya  di sini".  Imbauan ini bukan dari Gereja, melainkan  dari  koperasi  kredit.  Intinya : kita diajak berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.
 
Ini pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita seorang gaek penyembah patung. Ia  menyembah  tanpa  pamrih. Tapi  di  usia  ke-70  ia  punya  kebutuhan penting. Doa pun diajukan. Sayang, patung itu cuma  diam.  Kakek  kecewa. Ia minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan. Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.
 
"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau kalau ia penyembah patung ? Bukankah ia kafir yang nyata ?"

Allah  senyum.  "Betul,"  jawabnya, "Tapi  kalau bukan Aku, siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu apa bedanya Aku dengan patung ?"
 
Siang malam aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak dilarang.
 
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 27 Oktober 1990

Rabu, 10 September 2008

Warisan Hidup Paling berharga

Alumni Pika yang berbahagia,
Pernahkah anda membayangkan, warisan apakah yang akan anda tinggalkan kepada anak anda kelak ? Sudahkah anda mulai menyiapkan warisan itu dari sekarang ? Pemikiran Gede Prama berikut ini dapat memberi inspirasi bagi anda. Silahkan disimak. (PDS)


Warisan Hidup Paling berharga
Oleh: Gede Prama

Ada sebuah kegiatan yang hampir selalu dilakukan oleh setiap keluarga begitu
ditinggalkan orang tua : membagi warisan. Positifnya, ini membuat
putera-puteri yang ditinggalkan orang tuanya memiliki nafas yang relatif
lebih panjang dalam hidup dan kehidupan. Negatifnya, warisan juga mengurangi
keikhlasan orang-orang yang ditinggalkan. Anda bisa bayangkan, bagaimana
tingkat kemurnian dan keikhlasan doa sekumpulan orang, kalau di kepalanya
senantiasa terbayang tanah, rumah, mobil yang sebentar lagi menjadi milik
kita secara gratis.
 
Entah bagaimana pengalaman Anda bertutur, pengalaman saya melayat di banyak
keluarga yang kaya secara materi menunjukkan, justru unsur negatifnya yang
lebih sering kelihatan. Baru saja dokter mendeklarasikan bahwa pasiennya
meninggal secara medis, dan belum sempat mayat almarhum (almarhumah)
dimandikan, mata orang-orang yang hadir sudah dipenuhi dengan kecurigaan dan
kebencian. Ada kecurigaan, jangan-jangan saat pembagian warisan nanti ia
dibohongi kakak atau adiknya. Ada kebencian, bahwa sang orang tua sakit dan
kemudian meninggal disebabkan oleh kenakalan salah seorang anaknya.
Sehingga dalam totalitas, warisan kekayaan materi yang diniatkan hampir
semua orang tua sebagai lambang limpahan cinta dan kasih sayang, di ujung
kematian pemiliknya justru berubah menjadi kecurigaan dan kebencian.
Entahlah, apakah orang meninggal mengenal kegiatan sedih dan menangis. Yang
jelas, kalau saja mereka bisa menangis, mugkin tangisan mereka amat
mengharukan. Gunungan harta yang dikumpulkan dengan jutaan tetesan keringat
dan banyak pengorbanan, ternyata pada akhirnya hanya berfungsi sebagai
sarana kebencian dan permusuhan.
 
Sebagai seorang penutur kehidupan, yang meramu pengalaman dan bacaan ke
dalam rangkaian cerita, sering kali saya dipaksa oleh sang kehidupan untuk
bertutur apa yang saya pribadi alami. Kadang rikuh dan malu. Sebab, mudah
sekali tergelincir dalam kesombongan dan keakuan. Namun, wibawa dan karisma
sebuah cerita akan jauh lebih tinggi kalau kita menceritakan apa yang kita
lakukan.
 
Dalam spirit terakhir, izinkan saya bertutur apa yang dilakukan sang
kehidupan pada diri saya pribadi. Dan maafkan kalau ada yang menyimpulkan
bahwa saya sedang tergelincir dalam kesombongan dan keangkuhan - sebuah
resiko yang harus saya ambil untuk menjaga wibawa cerita.

Setahun lebih setelah ayahanda tercinta meninggal dunia, kami sekeluarga
memang dihadapkan pada keharusan untuk mengkavling sejumlah warisan yang
ditinggalkan. Dalam ukuran orang kaya di kota, jumlah harta yang
ditinggalkan memang tidak seberapa. Namun, bila ukurannya adalah kehidupan
orang miskin di desa, syukur sekali Ayah meninggalkan banyak perpanjangan
nafas kehidupan.
 
Sebagaimana biasa, membagi harta bukanlah perkara yang terlalu mudah. Namun,
seorang saudara wanita menyebut saya sebagai orang bodoh. Sebab, mengikuti
saja kehendak kakak-kakak tanpa pemikiran dan penolakan berarti. Dan dalam
setiap arah pembicaraan yang menuju konflik, saya menyediakan diri sebagai
pihak yang mungkin bisa memperoleh lebih sedikit.
 
Alasannya sederhana, burung gereja tidak menanam pohon, tidak bekerja, tidak
sekolah, tidak berdoa namun diberi penghidupan oleh Tuhan. Masak manusia
dengan sejumlah kelebihannya dibiarkan sengsara. Inilah kerangka hidup dan
kehidupan saya. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, inilah yang kerap saya
lakukan. Tidak saja berkaitan dengan pembagian warisan, dalam mempertahankan
kursi kekuasaanpun, sikap yang serupa sering menandai hidup saya. Silahkan
diambil kapan saja saya rela. Bagi orang Amerika yang asertif, mungkin ini
disebut dengan kebodohan yang pasif. Namun bagi orang bodoh seperti saya
ini, sikap-sikap seperti ini diharapkan bisa menjadi warisan keteladanan
bagi putera-puteri saya di rumah.
 
Kembali ke cerita awal tentang warisan, ia memang bisa menaikkan libido
keserakahan. Menghilangkan keikhlasan dalam berdoa. Dan bukan tidak mungkin
menghancurleburkan sejumlah keluarga yang membaginya. Dan karena demikian
mahalnya harga semua ini (libido keserakahan, keikhlasan doa dan keutuhan
keluarga), maka sampai sekarang saya termasuk orang yang tidak terlalu
bercita-cita untuk mewariskan banyak harta pada anak-anak.

Bukan karena tidak mencintai dan tidak mengkhawatirkan masa depan anak,
tetapi karena saya memiliki pengertian berbeda tentang warisan yang paling
berharga dalam hidup. Warisan hidup yang paling berharga, paling tidak
menurut orang pasif dan tidak asertif seperti saya ini, adalah
keteladanan-keteladanan hidup. Dan saya sudah memperolehnya lebih dari cukup
dari Ayahanda tercinta. Beliau bukan saja mewariskan harta, namun
keteladanan-keteladanan hidup yang mengagumkan. Salah satunya mengisi
seluruh hidupnya dengan cinta dan kesederhanaan hidup. Bahkan, saya
merasakannya sendiri, cintanya berumur lebih panjang dari umur badan
kasarnya.

Harta memang akan hilang dan musnah oleh waktu. Namun, keteladanan akan
menghuni hati dan jiwa setiap anak dan cucu yang kita tinggalkan. Inilah
alasan paling sederhana kenapa cinta saya amat mendalam terhadap almarhum
Ayahanda tercinta. Selamat jalan ayahanda tercinta, keteladananmu sudah saya
teruskan pada banyak orang yang juga membaca tulisan singkat ini.

Sertifikat, pelajar dan Pembelajaran

Sertifikat, pelajar dan Pembelajaran
Arvan Pradiansyah

Seorang dokter sedang memeriksa pasien yang terbaring lemas di tempat tidur.
Tak lama kemudian ia berdiri dan berkata kepada istri pasien. "Maaf, saya
turut berduka cita atas meninggalnya suami ibu". Lalu, suara protes lemah
terdengar dari tubuh lemas yang terbaring di tempat tidur, "Tidak, saya
masih hidup". Mendengar hal itu, istrinya langsung menjawab, "Diam! Dokter
itu lebih tahu daripada kamu!".

Mungkin anda tertawa mendengar lelucon tersebut. Sebenarnya, hal itu
merefleksikan kenyataan masyarakat. Kita sering lebih menghargai posisi
keteimbang kebenaran, lebih menghargai penampilan ketimbang karakter, lebih
menghargai sertifikat ketimbang isi dan substansi. Ini bisa menjelaskan
mengapa bznyak orang tertarik memperoleh gelar tanpa susah payah.
Padahal apa artinya sertifikat ? menurut saya, sertifikat hanyalah potret
mengenai perjalanan hidup seseorang, belum tentu menggambarkan kapasitas dan
kompetensinya. Orang yang bergelar doktor tapi kemudian berhenti belajar,
maka ia pun ketinggalan dalam waktu singkat, Orang yang memiliki SIM tapi
tak pernah menyetir mobil, pastilah kehilangan keahliannya. Jadi sertifikat
apapun bentuknya sebenarnya sekedar potret, sertifikat hanyalah nilai,
sedangkan prinsipnya adalah mendapatkan kompetensi dengan belajar.

Toh kenyataannya, banyak orang yang lebih mementingkan sertifikat ketimbang
proses belajarnya. Dalam suatu pelatihan bersertifikasi, saya pernah tidak
meluluskan seorang peserta, karena ia belum dapat menunjukkan keahlian yang
diperlukan, namun dia tetap menuntut sertifikat, akhirnya saya hanya
memberikan certificate of attendance ( sertifikat kehadiran ) kepadanya,
anehnya ia cukup puas dan bangga dengan sertifikat tadi.

Orang-orang seperti ini banyak kita jumpai di seminar dan studi banding ke
luar negeri / dalam negeri, sering yang dicari sertifikat atau citra (
seminar di luar negeri sering tidak mengeluarkan sertifikat ). Saya pernah
mengikuti konferensi internasional si salah satu negara ASEAN, ternyata
peserta terbanyak dari Indonesia. Namun, itu hanya pemandangan hari pertama
dan malam penutupan. Di hari-hari seminar, banyak peserta yang menghilang
entah kemana. Bahkan di hari terakhir, seorang peserta seminar mengatakan
kepada saya bahwa kopernya overweight, padahal ia akan mampir lagi di negara
tetangga buat berbelanja. Anda tahu barang apa yang lalu ditinggalkannya?
Tak lain, tas berisi semua makalah seminar. "Habis mau bagaimana lagi, koper
saya sudah terlalu berat."

Berbeda dari manusia jenis pertama yang lebih mementingkan citra dan
sertifikat, ada orang yang memang senang belajar, berdiskusi, ikut pelatihan
dan datang ke seminar. Ini disebut manusia pelajar. Orang ini banyak ilmunya
tetapi sayangnya ia tidak menerapkan ilmu itu untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Mereka tahu cara mendidik anak, tapi tetap tak bisa dekat dengan
anak. Tahu cara berkomunikasi, tapi lebih sering mengalami miskomunikasi.
Tahu cara mengelola organisasi, tapi menerapkan manajemen pokoke alias
manajemen otoriter. Inilah ciri pelajar, Stephen Covey mengatakan, "to know
but not to do is not to know." Maksudnya, mengetahui sesuatu tetapi tidak
melakukan apa-apa, sama saja dengan tidak mengetahui. Anda mempunyai banyak
buku terbaru, tapi tak pernah satu kalipun membacanya, sama saja nilainya
dengan orang yang tak pernah membeli buku, bahkan sama dengan orang yang tak
bisa membaca.!

Manusia terbaik adalah pembelajar. Inilah orang yang senantiasa belajar,
kemudian mengamalkan apa yang diperolehnya. Rekan saya mengatakan, perbedaan
antara orang Indonesia dan Amerika seperti ini, "orang Indonesia datang ke
seminar untuk belajar sesuatu yang baru, sementara orang Amerika datang ke
seminar untuk menerapkan hal yang baru." Orang pertama cuma menangkap,
sedangkan orang kedua menjalani proses pembelajaran yang meliputi empat
tahap : menangkap ( capture ), memperluas dan mengaitkan dengan pengalaman
sendiri ( expand ), menerapkan ( apply ), dan berbagi ( share ).
Dengan mengamalkan ilmu dan membagikan pengalaman menerapkannya kepada orang
lain, kita memenuhi bukan hanya kebutuhan mental ( to learn ), melainkan
juga kebutuhan spriritual ( to leave a legacy ). Kita meningkatkan kualitas
hidup orang lain. Dengan demikian, hidup kita pun lebih berkualitas dan
lebih bermakna.

(Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan SDM Franklin
Covey Indonesia )

Kamis, 04 September 2008

Manusia dan anjing

Manusia dan Anjing
(Mohamad Sobary)

"AKU punya kejutan besar, Bu," kata anak sulung saya sore itu di dalam mobil
ketika saya membayar parkir dan kemudian pelan-pelan kami meninggalkan
hiruk-pikuk ujung barat halaman stasiun Gambir. Ia baru saja turun dari
kereta api Argo Gede jurusan Bandung-Jakarta untuk berlibur akhir pekan di
rumah.

"Kejutan apa, nduk ?" .
"Ini pengalaman rohani."
"Lha iya, apa ?" desak istri saya.

Syahdan, ia pun bercerita tentang seekor anjing kecil yang terkaing-kaing di
bawah pohon di sebidang kebun di depan tempat "kos-kosan" nya. Anjing itu,
ketika didekatinya, ternyata luka parah di bagian kaki depannya. Makhluk itu
tak mampu berjalan. Anak saya pun membopongnya ke dokter hewan. Dan sang
dokter menjamin dalam waktu pendek hewan manis itu akan sembuh.

"Betul, dok ?" tanya anak saya.
"Betul. Jangan khawatir," jawab dokter.

Dan benar. Anjing itu sembuh. Dan anak saya terkejut, karena ketika mau
berangkat kuliah, hewan itu menyambutnya di jalan kecil di dekat sebidang
kebun tempat ia beberapa hari lalu ditemukan. Dan bukan cuma itu.

"Dia nganterin aku sampai di tepi jalan raya tempat aku menunggu kendaraan.
Dan ketika aku pulang, dia pun menyambutku. Begitu setiap hari. Ih, demi
Allah, Bu, dia tahu membalas budi."
"Memang, anjing memang hewan paling setia."
"Sekarang sahabatku bertambah seekor anjing," kata anak saya.

Ketika usia lima tahunan dulu, ia minta dibelikan hewan. Tapi di rumah BTN
yang kecil, kami tak bisa menyisakan tempat yang cocok buat hewan. Sekarang
ia mendapatkan apa yang dulu tak diperolehnya. Ini sejenis "dream comes
true" baginya. Dan ia berhak merasa bangga.

Rupanya, jiwa anak saya tersentuh. Orang tua sering tak tahu, kapan jiwa
anaknya bertambah matang. Sebagai ayah, saya merasa berbahagia mempunyai
anak yang mulai membaca alam dan memaknai simbol-simbol halus yang terentang
dalam hidup.

Diam-diam anjing itu mengajarinya ilmu tafsir simbol yang pasti belum
diajarkan dosennya di jurusan Antropologi yang dia pilih. Dan di sepanjang
sisa perjalanan pulang itu ia bicara terus perkara sahabat, tolong-menolong,
terima kasih dan loyalitas. Ia sedang merumuskan nilai-nilai baru untuk
orientasi hidupnya sendiri. Sering saya berpikir, mungkin tiap pemimpin
mendambakan betapa enaknya jika anak buahnya mempunyai jiwa anjing, yang
paham akan arti terima kasih dan loyalitas.

"Tapi ini impian muluk, Nak"
"Emangnya kenapa, Pak ?"

Saya pun menjelaskan, bahwa di kantor-kantor-dalam birokrasi apa pun, dan di
mana pun-loyalitas tak dikenal. Orang, pegawai, karyawan, pada dasarnya cuma
loyal pada duit, dan pada cita-citanya sendiri. Tiap orang sibuk berjuang
bagi dirinya sendiri.

Tentu saja ada tutup, ada selubung, ada kedok, pemanis kata, hiasan bibir,
atau gincu-yang disebut ideologi-yang menutup secara indah, dan memberi
pengesahan moral terhadap cita-cita pribadinya agar langkah politiknya tak
kelihatan begitu telanjang seperti alam.

"Apa keadaan kita seburuk itu ?"
"Dalam beberapa hal bahkan lebih buruk."
"Apa bapak kecewa, atau bahkan putus asa mengharap loyalitas di kantor ?"
"Kecewa ya, tapi putus asa tidak."

Lagi pula di kantor orang sudah tahu sejak dulu, bahwa saya tak pernah
mengharap mereka bersikap loyal pada saya. Kita harus loyal pada nilai.
Maka, dikotomi yang mengkotak-kotakkan orang menjadi "orangnya si ini",
"orangnya si itu" jelas bukan orientasi hidup yang sehat.

Bagi saya, loyal pada nilai itu artinya orang cuma loyal pada kantor, pada
tujuan bersama. Orientasi ini harus diperjuangkan dengan biaya mahal sekali
pun. Saya kira inilah kesejatian hidup di dalam semua organisasi.

"Apa orang tak menyambut gagasan itu?"
"Pada tataran idiil bukan cuma menyambut tapi ada bahkan yang cepat
memuji-muji, bahwa gagasan ini demokratis, dan bahwa baru dalam masa
kepemimpinan inilah anak buah diajari orientasi yang benar, dan diberi
otonomi."

"Dia pasti orang baik," kata anak saya.
"Mungkin. Tapi mungkin pula penjilat."
"Apa dia tidak tulus ?"
"Tulus itu urusan hati, dan menjilat urusan mulut dan lidah, sedang
lidah-orang bilang-tak bertulang."
"Siapa tahu dia loyal beneran."

Memang tak mustahil di suatu kantor ada loyalitas tulen. Tapi loyalitas tak
bisa ditentukan buru-buru. Kalau orang tampak loyal hanya semasa aktif, saat
menjabat, bandit pun bisa lebih dari itu. Maka, tunggulah sampai masa
pensiun. Kalau setelah pensiun ia memusuhi atasan, memfitnah, atau menipu,
tahulah kita bagaimana status rohaniah manusia jenis ini.

Kita sering lupa, Tuhan menjadikan manusia dalam seindah-indahnya kejadian.
Tapi, Tuhan pun-bila kita culas, busuk, dan ingkar-mudah mengubah status
kita menjadi lebih hina dari hewan melata.

Sering saya termangu-mangu membaca firman itu. Dan sering pula saya heran,
roda hidup berputar cepat, dan anak saya, tiba-tiba sudah mahasiswi tahun
pertama di Universitas Padjajaran, dan mandiri di Bandung sana, sedang kami
sekeluarga, di Jakarta.

Jarak geografis menciptakan rindu. Dan rindu menggali lebih dalam saling
pengertian. Rupanya, selama ini kita kurang saling mengenal. Maka, dari
jauh, kini kita belajar lagi membikin pengertian dan merumuskan nilai-nilai
baru dalam hidup kita.

"Nak, jaga anjingmu itu baik-baik. Ia memberi kita renungan, bahwa bila
manusia ingin menjadi manusia sejati-yang tahu membalas budi, dan memiliki
loyalitas-maka ia harus gigih belajar dari sesama, juga dari anjing.*

Rabu, 03 September 2008

Silent is golden

"Silent is golden" begitu bunyi pepatah kuno. Apakah pepatah ini masih
relevan dengan jaman sekarang ? Gede Prama sedikit mengubah pepatah ini
menjadi : "Bicara baik atau diam". Kalau kita bisa melakukan hal ini, maka
"terjadilah di bumi seperti di dalam surga". (PDS)


Bicara Baik Atau Diam
Penulis: GedePrama

Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang
melukis. Melalui kegiatan bercakap-cakap dengan diri sendiri, seorang
pelukis kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah
lukisan. Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni,
ia bisa menerka percakapan apa yang terjadi di balik banyak lukisan.

Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil
percakapannya dengan diri sendiri, kita manusia biasa memiliki juga hasil
dari percakapan panjang kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling
representatif adalah badan yang kita bawa kemana-mana selama hidup. Atau
kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah satu hasil lain dari percakapan
jenis terakhir ini.

Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan
kegiatan melukis. Bedanya dengan pelukis, kita sedang melukis diri kita
sendiri. Mirip dengan pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang
tidak disengaja. Dan percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi
bahan-bahan kita dalam melukis. Dalam tingkat penyederhanaan tertentu,
apapun yang kita percakapkan dengan diri sendiri akan memberikan warna
terhadap lukisan (baca : wajah) kita sendiri.

Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari
ngerumpi kejelekan orang lain, iri, dengki, menempatkan orang lain dalam
posisi tidak pernah benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang.
Perhatikan badan dan sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang
lain yang percapakannya lebih banyak berisi hal-hal yang positif ?

Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya
hanya dan hanya negatif, juga berhobi memproduksi penyakit yang akan
dihadiahkan pada tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan
diri secara amat suka rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik
sampai dengan penyakit psikis. Di luar kesengajaan mereka, atau bersembunyi
di balik kesenangan sesaat, orang-orang seperti ini sedang memukul, menusuk
dan bahkan menghancurkan badan dan jiwanya. Kalau kemudian lukisan
kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu bukan karena sengaja dihancurkan
orang lain.

Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana
persisnya kita bercakap-cakap dengan diri sendiri setiap harinya. Entah
ketika di depan cermin, entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara,
entah di manapun kita selalu bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya
sejak bangun pagi sampai tidur malam kita melakukan percakapan, bahkan
ketika tidurpun kita bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang
hanya mau bercakap-cakap yang positif saja. Sayangnya, kekuatan di balik
percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam
pada wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya.
Orang-orang yang terlalu lama memformat lukisannya dengan
percakapan-percakapan negatif, tentu dihadang tantangan yang lebih besar.
Demikian juga sebaliknya.

Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita,
akankah kita membuat lukisan diri sendiri yang berwajah indah, atau bopeng
mengerikan di sana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
percakapan memang kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.

Seorang sahabat jernih pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal
ini : speak good, or be silent. Bicaralah hal-hal yang baik saja, kalau
tidak bisa diamlah. Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi
yang paling esensi. Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan
percakapan sebaiknya dilakukan.

Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara
mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu saja layak untuk dikurangi.
Waspada dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang
lain tanpa bukti mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian
juga ketika melihat kekurangan orang lain, atau juga kekurangan diri
sendiri.
 
Serakah misalnya, kenapa tidak dibelokkan menjadi serakah belajar
dan berusaha. Kebiasaan mumpung sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa
tidak segera menjadi contoh dari hidup yang lurus dan bersih. Iri hati juga
serupa, bisa saja energi-energi iri hati digunakan sebagai mesin pendorong
kemajuan yang amat menentukan. Bentuk tubuh yang tidak menarik sebagai
contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai cambuk untuk mengembangkan
kecantikan dari dalam diri.

Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk
senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama disiplin untuk mendidik mulut
dan pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang
lebih produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah.
Karena mirip dengan lukisan indah yang senantiasa dihasilkan pelukis dengan
penuh perjuangan, demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu
mengingat sebuah kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam
sekalian. Dan atas rahmat Tuhan lukisan kehidupanpun mungkin berwajah lebih
menarik. Setidaknya, itulah yang sedang saya percakapkan dengan sang diri
ketika tulisan ini dibuat.